Pemerintahan polisi India menuduh kecurigaan Twitter yang tidak mengikuti aturan. Dan terjadi beberapa provokasi seperti propaganda mengandung rasialisme. Yang muncul membuat suatu kondisi pro – kontra yang tidak kondusif.
Polisi India sudah mendaftar kasus pada Twitter dan wartawan terpenting karena diperhitungkan coba memacu kemelut komunal. Polisi menjelaskan beberapa wartawan secara salah mengkritik jika seorang pria Muslim pria Hindu saat membagi video sangkaan kejadian itu di Twitter.
Beberapa petinggi menambah jika pria itu berseteru dengan pria Hindu dan Muslim karena konflik. Beberapa fantastis wartawan sudah hapus tweet tapi Twitter belum memberi komentar. Kejadian terkini terjadi di tengah-tengah bertambahnya kemelut di antara pemerintahan federasi dan Twitter atas undang-undang IT baru India.
Video tersebut trending sekitaran 7 Juni, memperlihatkan sekitaran lima pria memukuli seorang pria Muslim lansia di area Ghaziabad di negara sisi Uttar Pradesh di utara. Beberapa pria kelihatan menggunting janggut Abdul Samad. Video, yang tidak mempunyai audio, dibagi oleh beberapa orang, terhitung wartawan Rana Ayyub, Saba Naqvi dan Mohammed Zubair.
Di hari yang serupa, video lain dari Samad jadi trending di mana kamu mendakwa beberapa pria membuat melantunkan Jai Shri Ram (Salam Tuhan Ram), yang dipakai oleh umat Hindu untuk berdoa tapi juga dipakai sebagai salam.
Tetapi polisi menjelaskan jika tidak ada pemikiran agama dalam kejadian itu dan beberapa orang yang memukuli Samad sudah diamankan. Beberapa petinggi menambah jika Samad memberinya jimat ke beberapa orang untuk bawa peruntungan dan kemakmuran. Mereka menambah jika pria yang memukulinya kecewa karena kamu tidak berhasil bawa peruntungan untuk mereka.
Akhilesh Kumar Mishra, petugas interograsi, menjelaskan ke BBC jika kamu menimbang untuk ajukan kasus pada Samad karena diperhitungkan memberinya pengakuan yang menyimpang. Ayyub menjelaskan kamu sudah men-tweet video itu sesudah membaca dan memandang laporan informasi mengenai sangkaan kejadian yang terjadi pada 5 Juni.
Ketentuan IT baru India, yang mulainya berlaku mulai 26 Mei, mengharuskan sosial media dan basis OTT untuk menunjuk petugas aduan yang bakal dikasih kuasa untuk hapus content saat disuruh oleh penegak hukum dan tubuh peradilan. Disamping itu, mereka harus mencari pemrakarsa pesan tertentu bila disuruh oleh pengadilan atau pemerintahan. Basis seperti Twitter, Facebook, dan Whatsapp dikasih waktu 3 bulan pada bulan Februari untuk patuhi ketentuan ini.
Patuhi undang-undang baru penting untuk beberapa perusahaan ini untuk menjaga status mereka sebagai “mediator”. Status itu membuat perlindungan mereka dari tuntutan pidana bila ada content yang di-publish oleh pemakainya yang menyalahi hukum India. Beberapa kritikus menjelaskan undang-undang baru itu mempunyai tujuan untuk batasi kebebasan berekspresif di India, tapi pemerintahan menentangnya.
Laporan memperlihatkan kasus terkini sudah disodorkan pada Twitter sesudah kehilangan pelindungan “safe harbour” sebagai mediator, karena ketidakpatuhan. Tapi baik pemerintahan atau Twitter tidak mengonfirmasi ini. Sumber menjelaskan ke BBC jika Twitter belum terima perintah semacam itu dari pemerintahan. Di tengah-tengah pembicaraan sekitar kasus itu, Menteri IT India Ravi Shankar Prasad mengirimi rangkaian tweet untuk mengomentari basis sosial media karena enggak patuhi ketentuan baru.
“Benar-benar mengagetkan jika Twitter yang memvisualisasikan dianya sebagai pembawa bendera kebebasan bicara, pilih lajur pemberontakan yang tersengaja saat tiba ke Dasar Mediator,” sebuah tweetnya mengeluarkan bunyi.